Jakarta - Dalam 5 bulan, dua bom bunuh diri meledak di Tanah Air.
Bom bunuh diri di Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah, dan sebelumnya di Cirebon tentu sudah direncanakan. Bom ini menunjukkan eksistensi ancaman kelompok tertentu.
"DPO teroris masih banyak yang belum tertangkap. Sel baru masih ada. Ini menunjukkan ancaman itu masih ada. Dan juga perlu sadari bahwa mereka berkolaborasi dengan mereka yang kebetulan punya afiliasi yang sama sehingga muncul sinergi untuk melakukan serangan itu," kata pengamat intelijen Wawan Purwanto.
Berikut ini wawancara detikcom dengan Wawan, Senin (26/9/2011):
Apa yang hendak ditunjukkan dari bom bunuh diri di Solo?DPO teroris masih banyak yang belum tertangkap. Sel baru masih ada. Ini menunjukkan ancaman itu masih ada. Dan juga perlu sadari bahwa mereka berkolaborasi dengan mereka yang kebetulan punya afiliasi yang sama sehingga muncul sinergi untuk melakukan serangan itu.
Kesimpulan sementara, pelaku bom Solo adalah jaringan Cirebon. Mereka masih kuat?Kalau dibilang kuat, sebenarnya ini kolaborasi dari berbagai jaringan dari Jakarta, Pamulang dan kelompok sebelumnya. Kelompok-kelompok yang ada punya rangkaian dengan ini. DPO masih dalam pengejaran, belum tertangkap semua sehingga sewaktu-waktu bisa melakukan penyerangan.
Sebetulnya kalau laporan intelijen, informasinya sudah diberikan pada 14 Agustus bahwa ada 5 orang yang dibaiat dan 9 orang remaja belum dibaiat tapi hadir dalam kegiatan itu. Ada nama yang dibaiat juga pergerakan di mana-mana. Tapi karena belum ada bukti, polisi belum bisa menangkap.
Lebaran lalu aman, meski ada informasi penyerangan direncanakan pada Agustus dan September. Akhirnya terjadi seperti ini, meski info sudah ada tapi tidak bisa mengamankan karena seperti saya bilang tadi belum ada bukti permulaan yang cukup.
Menurut Anda mengapa memilih Solo?Ini soal pilihan mereka. Mereka bisa memilih di mana saja. Dari pengamatan dan gambaran mungkin Solo dinilai tepat. Ini kan seperti mengapa memilih Cirebon. Setelah melakukan pengamatan, ini kembali pada soal pilihan. Pilihan itu ada yang sifatnya reguler atau pilihan emergensi. Bisa di mana saja yang mereka inginkan.
Jangan melihat ini secara melebar nanti ada yang tersinggung. Mari kita kerucutkan ini. Kita lihat olah TKP, kita lihat benang merahnya. Ini butuh waktu untuk menganalisanya, agar tak ada yang merasa disudutkan.
Target bom bunuh diri ini adalah rumah ibadah yang tak peduli rumah ibadah agama apa pun atau dipicu konflik Ambon?Sebetulnya kalau pemicunya adalah konflik Ambon bisa dikesampingkan. Karena laporan akan adanya penyerangan ini sejak Agustus, jadi konflik Ambon kan belakangan. Terlepas dari mana pun, ini sudah direncanakan. Kalau mau bisa meledak di mana saja. Mengenai pelaku yang mirip DPO Cirebon, bisa jadi kemiripan itu jadi clue. Jadi kita tunggu dulu tes DNA dan sidik jari untuk kepastian.
Menurut Anda mengapa memilih gereja sebagai target, bukan orang asing? Ada muatan SARA?Ada perulangan sejarah. Dulu 1999-2000 ada bom Natal, dan sepertinya ada yang meniru ke situ. Dan kalau ada sejarah penyerangan ke orang asing, bisa jadi nanti ada perulangan lagi. Demikian juga dengan penyerangan ke aparat keamanan. Jadi kalau terjadi serangan pada tempat ibadah menurut teori, jenis tempat maupun sasaran kapan saja bisa berulang.
Sebelum beraksi pelaku terlalu banyak tinggalkan jejak dan berdasar daya ledak bom menunjukkan keamatiran?Sebetulnya semenjak bom Bali tidak ada bom yang high explosive, karena pendanaan makin berkurang. Mereka tak lagi punya pasokan dari Hambali. Dana mereka lebih pada iuran atau swadaya. Memang sempat ada bantuan khusus dalam pelatihan di Aceh, lalu kecil-kecil saja. Kalau bom seperti itu relatif murah. Rp 500 ribu sudah bisa.
Meninggalkan kantong atau bungkusan sebelum meninggal bisa jadi sebuah penyesatan, tapi ini untuk apa? Kalau hit and run mungkin bisa, tapi ini kan tidak lari. Ada pesan yang harus diselidiki. Apa pesannya ini harus dikaji.
Anda yakin bom ini sudah lama direncanakan?Mereka punya masa pelatihan, menghapuskan jejak, masa konsolidasi. Tentu dari April sejak bom Cirebon sampai Septemer cukup waktu untuk konsolisasi. Konsolidasi ini bisa macam-macam, termasuk juga merencanakan hal baru. Dan ini yang terjadi. Terencana, itu pasti. Apa pun tak mungkin hanya sekadar meledakkan.
Polisi menyebut kelompok teroris kembali ke cara tradisional sehingga susah mengikuti pergerakannya. Trennya jadi begini atau kesulitan keuangan?Cara konvensional memang lebih aman, tidak terjejak secara eletronik maupun satelit. Semacam untuk hapuskan jejak. Soal pembiayaan relatif sulit sekarang jika mengharapkan dari simpatisan. Kalau cara manual yang mereka pakai tampaknya dipilih karena ingin supaya lebih aman saat pergerakan, jadi tidak mudah terdeteksi.
Apa yang harus dilakukan?Semua harus waspada. Sekarang ada sesuatu yang menganga. Kalau ada laporan intelijen bahwa ada pengantin tapi belum ada bukti maka aparat nggak bisa apa-apa. Itu makanya ada orang Malaysia yang malah beraksi di Indonesia karena di sana mereka kena Internal Security Act (ISA). Di kita ini menganga betul, sehingga digunakan teroris beraksi. Perlu UU yang kuat untuk perlindungan publik tanpa terkesan represif berlebihan yang ditraumakan.
source: http://www.detiknews.com/read/2011/09/26/194058/1730908/158/wawan-purwanto-bom-solo-tunjukkan-ancaman-kelompok-teroris-masih-ada